SKENARIO MODEL BISNIS A LA APLIKASI ONLINE.
Tulisan Satria Mahendra :
Beberapa bulan lalu heboh soal taksi dan ojek online. Bahkan ratusan sopir taksi kemarin demo menolak taksi online.
Saya dari awal termasuk yg antipati dgn taksi dan ojek online ini. Tapi
penolakan saya bukan karena mereka menggunakan teknologi. Bukan pula
karena masalah mereka menyalahi perijinan, KIR, dsb. Penolakan saya
karena ada sesuatu yg UNNATURAL dalam praktik bisnis taksi/ojek online
ini. Sesuatu yg UNNATURAL ini merupakan bom waktu yg cepat atau lambat
akan MELEDAK.
Sayangnya, para stakeholder bisa dibilang gagal
melihat sesuatu yg UNNATURAL ini. Ada yg melihatnya dari sudut pandang
APLIKASI. Ada yg dari sudut pandang PERIJINAN. Ada juga yg dari sudut
pandang REGULASI.
BUKAN ITU inti masalah ojek online ini.
Kalo
soal aplikasi, maka taksi/ojek konvensional bisa juga pake aplikasi.
Bahkan Bluebird dan Ekspress juga sudah menggunakan aplikasi. Tapi
mengapa bom waktu ini tidak bisa di-nonaktifkan?
Kalo soal perijinan, maka andai taksi/ojek online clear urusan perijinannya, bom waktu ini akan tetap aktif.
Kalo soal regulasi, maka andai regulasi sudah mengakomodir taksi/ojek online, bom waktu ini akan tetap aktif.
Masalahnya BUKAN ITU.
Masalahnya adalah pada HARGA YG UNNATURAL.
Biar gampang melihatnya, saya ibaratkan dengan pedagang bakso. Modal yg dibutuhkan utk 1 porsi bakso misalnya Rp.8000.
Biar dapat untung, dan pasti tukang bakso mau untung, karena tidak ada
yg namanya dagang tapi tidak nyari untung, maka 1 porsi bakso dijual
Rp.11.000. Ini NATURAL. Sesuai dgn hukum alam. Sesuai dgn prinsip
ekonomi.
Tapi bagaimana jika tiba2 saya ikutan jual bakso tapi pakai
aplikasi, dgn modal yg sama per porsi, tapi bakso saya jual Rp 4.000?
Inilah yg saya sebut UNNATURAL. Tidak wajar!
Konsumen pasti dukung
saya, karena harga saya murah banget. Konsumen pasti berpihak pada saya.
Dan jika ada pedagang bakso lain protes, konsumen pasti akan mencibir
pedagang bakso lainnya tadi. Saya dianggap jenius bisa memberikan harga
murah bagi konsumen.
Tapi konsumen tidak salah. Sikap konsumen yg demikian masih NATURAL. Emang begitu hukum ekonomi.
Nah, pertanyaannya bagaimana caranya agar pedagang bakso saingan saya
tetap bisa dapat untung, atau minimal tetap dapat pembeli? Apakah mereka
harus pake aplikasi juga? Bisa saja mereka pakai aplikasi. Tapi mereka
tidak mungkin jual dgn harga yg sama dgn saya (Rp. 4rb). Bukan itu
solusinya.
Inilah masalah sebenarnya dari taksi/ojek online. Bukan
soal aplikasi, bukan soal regulasi, dan bukan juga soal perijinan. Tapi
soal harga yg tidak wajar. Harga ditetapkan di bawah cost produksi.
Sebenarnya pertanyaan berikutnya yg harus kita ajukan agar kita bisa
mengidentifikasi apa penyebab sebenarnya dari sesuatu yg UNNATURAL ini
adalah mengapa ada usaha yg bisa eksis dgn price di bawah cost? Bahkan
salah satu ojek online pernah secara terang2an mengakui bahwa mereka
masih merugi milyaran rupiah per bulannya. Dan itu pengakuan mereka
tahun lalu. Sampai sekarang mereka tetap pasang tarif murah. Artinya,
kemungkinan besar mereka pun masih merugi milyaran rupiah. Apakah ini
NATURAL?
Wajar saja mereka bisa mengakuisisi pangsa pasar taksi/ojek
tradisional, karena mereka tidak ambil pusing soal untung rugi! Beda
dengan taksi/ojek konvensional yg tujuannya memang cari untung. Dan dari
margin keuntungan itulah mereka dapat memberi makan keluarga mereka.
Pertanyaan berikutnya, darimana mereka mendapatkan dana untuk membiayai
kerugian yg milyaran per bulan itu? Ternyata itu bukan dana mereka
sendiri. Tapi katanya dari investor. Nah, yg namanya investor pasti
motivasinya juga cari untung. Mana ada investor mau rugi. Kalo ada maka
itu UNNATURAL.
Ada yg beralasan dgn mengatakan, itu ruginya di awal
saja. Nanti setelah tahun ke sekian baru lah ada profitnya dan itu bisa
saja terjadi setelah perusahaan merubah strategi usahanya. Dan ini
wajar2 saja untuk bisnis2 yg baru mulai.
Betul. Bisnis yg baru mulai
umumnya merugi dulu di awal. Tapi apakah benar pada tahun kesekian
usaha2 UNNATURAL tsb akan merubah strateginya? Selain itu apakah sudah
pasti akan untung setelah rubah strategi itu? Apalagi jika yg dimaksud
strategi itu adalah bersaing dgn harga pasar. (Misal bakso dijual juga
dgn harga 11rb?) Belum tentu.
Saya ambil contoh misalnya T*k*b*g*s.
Situs iklan baris GRATIS. Didirikan tahun 2005. Tahun 2009 dibeli oleh
0L*. Dari 2005 hingga 2009 pasang iklan di t*k*b*g*s tetap gratis.
Bahkan setelah dibeli oleh 0L* sampai sekarang juga tetap GRATIS.
Di
awal kemunculannya banyak orang bertanya2 darimana t*k*b*g*s dapat
untung. Pasang iklan tidak dipungut bayaran (walaupun ada fitur iklan
premium, tapi persentase penggunanya sangat kecil). Tapi t*k*b*g*s bisa
beriklan jor-joran di tv yg biayanya bisa puluhan juta per 30 detik.
Darimana mereka dapat untung?
Ada yg menjawab, mereka hanya di awal
saja gratis. Nanti setelah 2-3 tahun, ketika t*k*b*g*s makin dikenal,
maka mereka akan ganti startegi dgn menjadi situs iklan baris berbayar.
Tapi kenyataannya, sampai sekarang, 2016, beriklan di t*k*b*g*s (yg sekarang sudah jadi 0L*) tetap gratis.
Ada lagi yg beralasan bahwa bisnis utama dari t*k*b*g*s itu bukan
advertising agency. Tapi data gathering. Yg kemudian dimonitasi
(monetizing/mendatangkan uang). Lalu diambillah contoh google/FB yg
menyediakan berbagai layanan gratis. Dari layanan gratis tsb google/FB
dapat data user berupa profil, hobi, dsb. Google/FB kemudian menampilkan
iklan berdasarkan data user tsb. Pemasang iklan bayar ke google/FB.
Dari sinilah google/FB dapat uang (monetizing).
Ini perumpamaan yg
terlalu dipaksakan. Padahal jelas beda. Google/FB bisnis utama mereka
memang advertising. Lalu mereka menyusun strategi utk bagaimana bisa
menyediakan advertising service yg efektif. Masuklah mereka ke strategi
data gathering.
Pasang iklan di google/fb tidak pernah GRATIS. Dari
awal hingga sekarang. Karena dari situlah mereka dapat pemasukan.
Satu2nya cara monetizing situs adalah dgn menyediakan space iklan
berbayar.
T*k*b*g*s tidak begitu. Mereka justru menggratiskan space
iklannya. Padahal monetasi situs justru dgn menyediakan space iklan
berbayar. Dan buktinya sampai sekarang t*k*b*g*s tetap gratis. Lalu
darimana mereka dapat uangnya? Kalo google dan fb jelas dari iklan
berbayar.
Kembali lagi ke soal investor. Mengapa ternyata tetap ada INVESTOR yg bersedia membiayai padahal jelas tidak ada untungnya?
Ini UNNATURAL.
Apa yg dilakukan oleh taksi dan ojek online SAMA sebenarnya dgn apa yg dilakukan oleh t*k*b*g*s, b*rn**ga, dan sejenisnya.
Bedanya, taksi/ojek online mencoba menerapkan strategi "bisnis"
(sengaja saya kasih tanda kutip karena ini bukan arti sebenarnya) yg
awalnya hanya ada di dunia maya ke bisnis riil di dunia nyata. Bedanya,
jenis usaha yg dipilih oleh taksi/ojek online bersinggungan langsung
dengan periuk nasi pelaku usaha yg sudah lama eksis di dunia nyata tsb.
Sehingha terjadilah konflik sosial.
Nah, sebenarnya "bisnis" apa sih dibalik taksi/ojek online ini, yg tadi saya juga sebutkan sudah lama ada di dunia maya?
Inilah "bisnis" nya:
Saya terjun ke usaha BAKSO BERBASIS APLIKASI. Harga bakso per porsi saya tetapkan Rp 4000. Cost produksi Rp. 8000.
Saya tidak mau rugi. Saya bikin usaha tujuannya nyari untung. Bagaimana
caranya saya bisa untung dgn jualan bakso si bawah harga produksi?
Caranya:
Tahun pertama
Saya butuh modal 1 milyar. Saya cari investor yg mau invest 1 M.
Sebagaimana investor umumnya yg juga bertujuan nyari untung, maka utk
menarik minat mereka saya tawarkan keuntungan 20%. Artinya, saya akan
kembalikan uang investor pada akhir tahun sebesar 1,2 M.
Investor dapat.
Dari 1 M, 200jt masuk kantong saya pribadi, sisanya 100jt utk modal bakso. 700 jt sisanya utk pasang iklan secara masif di tv.
Tahun kedua.
Saya punya kewajiban mengembalikan 1,2 M ke investor tahun pertama.
Darimana saya dapat uangnya, sementara bisnis bakso saya tidak
mendatangkan untung? Ingat, saya jual bakso jauh di bawah harga
produksi.
Caranya. Saya cari lagi investor yg mau invest 2 M. Saja
janjikan keuntungan 20%. Artinya di akhir tahun kedua saya akan
kembalikan 2,4 M.
Investor dapat.
Dari 2 M:
1,2 utk mengembalikan uang investor tahun pertama.
200 jt masuk kantong pribadi
100 jt utk modal bakso
500 jt utk jor2an pasang iklan lagi di tv.
Tahun ketiga, keempat dan kelima saya ulang2 lagi caranya.
Pada tahun ke 6, saya jual usaha saya seharga 100 M ke perusahaan internasional.
Atau jika saya tidak jual, saya masuk ke bursa saham, melakukan IPO.
Karena usaha saya sudah banyak dikenal, maka tidak susah bagi saya
menjual saham saya. Bahkan bisa jadi dalam waktu singkat harga saham
perdana saya bisa berlipat ganda. Apalagi jika ada yg menggoreng saham
saya.
Dari situlah saya dapat untung besar. Jadi bukan dari jualan bakso!
Soal banyak pedagang bakso gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan usaha saya, itu bukan urusan saya! Hahahaha
Mungkin ada yg tanya? Kok ada investor yg mau invest padahal pasti
sebelumnya mereka mempelajari detail proposal bisnis saya dan pasti
mereka tahu saya jualan di bawah cost produksi?
Jawabnya:
1.
Saya berhasil meyakinkan mereka bahwa setelah beberapa bulan saya akan
ganti strategi sehingga usaha saya akan mendatangkan untung berlipat.
Investor tahun pertama akan lebih susah diyakinkan daripada investor
tahun berikutnya. Tapi investor tahun berikutnya akan lebih mudah
diyakinkan dengan adanya testimoni dari investor tahun2 sebelumnya.
Atau...
2. Mereka adalah investor "hitam" yg butuh tempat money laundering. Apa
artinya membuang uang 1 M jika bisa memutihkan uang 10 M dalam bentuk
"profit" rekayasa dari jualan bakso. Apalagi jika bisa IPO.
Inilah hakikat "bisnis" saya.
------
Disclaimer:
- Tulisan saya bukan bertujuan mengajarkan model "bisnis" di atas. Saya
tidak bertanggung jawab jika ada yg terinspirasi utk menjalankan model
"bisnis" di atas beserta segala kerugian yg akan dialami oleh siapapun.
- Saya pribadi mengecam model "bisnis" seperti ini dan menganggapnya sebagai money game dan fraud.
- Jika ada kesamaan nama dan pelaku dalam tulisan ini dgn nama dan
pelaku di dunia nyata, maka itu adalah kebetulan belaka. (mis/medisnews)